Haru Yang Menggema

Oleh Yanti Mualim

Meski di Belanda tumpeng harus hadir.

Awal november lalu, kami mulai mencari lokasi untuk pesta si Bungsu bernama Dayinta. Aneh juga menyebutnya si Bungsu, kakaknya adalah si Sulung. Minggu terakhir bulan itu Dayinta akan mempertahankan disertasinya tentang elektroporasi vesikel di TU Delft. Technische Universiteit Delft adalah saudara tuanya ITB di Bandung. Kami menemukan sebuah lokasi tidak jauh dari aula universitas. Lokasi itu dulunya pabrik lem. Ketika masuk kompleks ini saya membayangkan: ‘O beginilah para buruh tiap pagi berjalan masuk pabrik.’

Suami dan kakak saya yang keduanya lulusan TU Delft ingat sekali pabrik itu. “Baunya minta ampun!” menurut suami saya. “Iya, betul sekali,” sambung kakak saya yang waktu mahasiswa pernah kerja di pabrik pengemasan di sebelah pabrik lem. 

Tentu saja tulang belulang hewan yang diolah jadi perekat baunya luar biasa. Pabrik lem dari 1885 di Delft ini entah dipindahkan atau ditutup, tapi sejak 2002 tidak berfungsi lagi.

Setelah itu bangunan-bangunan pabrik bermacam ukuran dan pekarangan luas bekas pabrik digunakan sebagai lokasi festival dan lokasi pesta. Bangunan-bangunan itu diberi nama: Lab 115, Chaos, Chemie, Centrale, Boiler dan bangunan terkecil adalah Experiment yang sekarang adalah sebuah restoran. Setelah melihat ruangan ini, serta merta buruh pabrik hilang.

Restoran di bekas pabrik lem

Sampai hari dia maju mempertahankan disertasinya Dayinta sangat sibuk. Dengan senang hati kami memenuhi permintaannya mengurus pesta usai upacara di ruang Frans van Hasselt di aula TU Delft. Saya pikir untuk kesempatan itu sangat cocok menghidangkan Tumpeng. Juru masak restoran yang orang Belanda itu tidak bisa membuat tumpeng nasi kuning, dengan demikian kami pesan di luar. Makanan pembuka sebagai penggugah selera dan pencuci mulut disediakan juru masak restoran.

Setelah persiapan pesta beres kami menyiapkan busana yang akan dikenakannya saat mempertahankan disertasi. Tradisi TU Delft itu ketat, seorang kandidat PhD saat mempertahankan disertasi hanya boleh berpakaian hitam, biru tua atau abu-abu gelap. Kami sibuk mencari gaun sesuai ketentuan yang feminin.
Meski kita hidup di abad ke 21 kandidat PhD wanita di universitas teknik ini masih minoritas.

Delft, Senin 26 November 2018

Akhir pekan menjelang hari penting itu Dayinta menutup semua komunikasi untuk sepenuhnya menyiapkan diri mempertahankan disertasinya. Baru siang itu kami jumpa di ruang Frans van Hasselt beberapa menit sebelum mempertahankan disertasi. Di meja tersedia disertasinya. Ruangan dipenuhi peminat, banyak di antaranya rekan-rekan peneliti. Dengan penuh perhatian mereka mengikuti tanya-jawab antara anggota-anggota komisi penguji dengan kandidat PhD.

Dayinta mempertahankan disertasi

Terpukau juga saya dan melihat Dayinta dengan yakin menjawab pertanyaan-pertanyaan para guru besar. ‘Dia telah menemukan tempat dalam dunia akademi dan menyumbangkan sepenggal kecil pada dunia ilmu pengetahuan.’

Semua lega setelah tanya jawab selesai. Lebih lega lagi ketika di hadapan para hadirin Rector Magnificus menyatakan Dayinta Liem Perrier sekarang berhak menyandang gelar Doktor dan berkewajiban menggunakan ilmu pengetahuan dengan jujur.

Jujur kepada ilmu

Bukan bangga yang saya rasakan, karena bangga adalah jika prestasi itu adalah jerih payah sendiri. Yang memenuhi diri saya adalah rasa haru menyaksikan semua itu. Nenek saya, ibunda ibu saya yang lahir di sebuah desa di Jawa Tengah pada 1881 buta huruf. Di jamannya, anak perempuan tidak perlu sekolah, dia dipersiapkan untuk menjadi istri dan ibu. Nenek saya iri, suaminya bisa membaca dan menulis, dia sendiri tidak pernah mendapat kesempatan belajar.

Nenek bertekad menyekolahkan semua anaknya yang berjumlah dua belas orang, dan sepuluh diantaranya perempuan.

Untuk membiayai mereka sekolah nenek berjualan kueh di pasar. Jam empat pagi naik dokar membawa jualannya dan mengantar anak-anaknya ke sekolah. Semenjak itu sekolah adalah unsur yang senantiasa hadir di keluarga kami.

Anak saya sepenuhnya memanfaatkan peluang yang tersedia untuk menuntut ilmu. Saya terharu, rasa haru yang menggema lama.

Selamat ya Dayinta

Plaats een reactie

Deze site gebruikt Akismet om spam te bestrijden. Ontdek hoe de data van je reactie verwerkt wordt.